TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Bersama Mahasiswa dan Aktivis Pamekasan, AJI Gelar Nobar Film Dokumenter A Thousand Cuts

  • Bagikan
Pengurus AJI Surabaya saat menjadi pemantik dalam kegiatan nobar dan diskusi film A Thousand Cuts di Coffe Manifesco Pamekasan, Jum'at (12/12/2021). (Foto. Samsul Arifin).

PAMEKASAN. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya sukses melaksanakan pagelaran nonton bareng (nobar) dan diskusi film A Thousand Cuts.

Film yang mengisahkan tentang Pembungkaman terhadap Jurnalis, Pemerintah yang anti-kritik, ini digelar di Coffe Manifesco Pamekasan, Jum’at (12/12/2021).

Dalam kegiatan ini hadir Ketua AJI Surabaya Eben Haezer, Divisi Advokasi AJI Surabaya Mustopa, Salawati Taher dari LBH Lentera dengan moderator Feri Ferdiansyah dari AJI Surabaya. Acara juga diikuti puluhan peserta yang terdiri dari masyarakat sipil, jurnalis, aktivis, akademisi hingga pers mahasiswa di Kabupaten Pamekasan.

A Thousand Cuts merupakan film dokumenter garapan Sineas keturunan Filipina-Amerika Ramona Diaz.

Film ini mengangkat sosok Pemimpin Redaksi portal berita online Rappler, Maria Ressa. Film tersebut mengeksplorasi konflik antara pers dan pemerintah Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte. Di mana Maria Ressa yang pada akhirnya harus mendekam dipenjara selama 6 tahun karena tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik.

BACA JUGA :  Membanggakan, Siswi MA Al Falah Sumber Gayam Pamekasan Raih Juara 2 Nasional Olimpiade Bidang Matematika

Dalam film A Thousand Cuts ini, Presiden Rodrigo Duterte tergoda untuk memperpanjang masa jabatannya lebih dari 7 tahun. Diketahui di Filipina, seorang presiden hanya boleh menjabat dalam masa satu periode selama 6 tahun.

Saat itulah arogansi pemerintahan mulai terasa dan cenderung anti-kritik. Kemudian Duterte mencoba membungkam media yang kritis kepada pemerintahannya. Seperti membungkam media yang dipimpin Maria Ressa, Rappler.

Ketua Aji (Aliansi Jurnalis Independen) Surabaya menyampaikan, bahwa yang menjadi ancaman bagi jurnalis saat ini bukan hanya rezim, bukan hanya kekuasaan, melainkan Buzzer dan Netizen karena dua-duanya dapat mengubah pendapat banyak orang.

BACA JUGA :  44 Pengurus PWI Pamekasan Resmi Bersertifikat Kompeten Dewan Pers

“Buzzer ini dapat mengubah pendapat banyak orang, Netizen pun bisa menjadi ancaman buat kita, inilah ancaman yang dihadirkan oleh internet. Artinya adalah kekerasan terhadap pers itu bukan hanya terjadi ketika kita berusaha untuk mengkritik pemerintah saja, akan tetapi melanggar etikpun kita bisa menjadi sasaran ancaman, mangkanya kita harus hati-hati dalam melakukan praktik jurnalistik” Ungkap Eben Haezer.

Lanjutnya, “Ketika jurnalis sudah dibungkam, apalagi ditangkap. Maka, tidak akan ada lagi apa-apa, karena tidak ada lagi yang memberitakan.

Salawati Taher dari LBH Lentera, menjelaskan bahwa kasus kekerasan tiap tahun sering terjadi di Indonesia.

Saat ini AJI sendiri memberikan pendampingan hukum kasus kekerasan jurnalis yang menimpa Nurhadi, wartawan Tempo Surabaya yang memasuki babak baru persidangan di PN Surabaya.

BACA JUGA :  Ratusan Peserta Ikuti Lomba Tahfidz di Literasi Cafe Pamekasan

“Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Asian Human Rights Commission (AHRC) menggalang dukungan publik serta organisasi masyarakat sipil untuk mengirim surat desakan ke sejumlah otoritas pemerintahan Indonesia,” pungkasnya.

Selain itu juga, lanjut Salawati Taher sekarang AJI menyoroti sejumlah pasal yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, ada beberapa pasal yang sekiranya bisa mengancam kebebasan pers.

“Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh Hakim. Jadi AJI Surabaya lagi membahas ini juga agar UU ITE tidak nyasar pada Jurnalis,” sambungnya.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung ke halaman Indeks
  • Bagikan